BERBAGAI pertanyaan mengenai mengapa Proklamasi Kemerdekaan dinyatakan untuk kali kedua di Jakarta oleh Bung Karno pada 17 Agustus 1945, sering ditujukan kepada Tubagus Dudum Sonjaya (75), pembuat sketsa detik-detik proklamasi.
Namun hingga kini dia mengaku tidak tahu alasan pemilihan tanggal tersebut, termasuk apakah benar Bung Karno pernah mengatakan tentang hal itu saat di Rengasdengklok.
’’Banyak juga yang tanya saya. Ada memang yang mengatakan kalau angka 17 angka keramat karena pas dengan shalat lima waktu 17 rakaat. Tapi ini berkembang setelah sekian lama kita merdeka. Saya tidak melihat dan mendengar Bung Karno bicara begitu,’’ katanya.
Yang dipahami Dudum kecil adalah, pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dinyatakan Bung Karno melalui upacara militer di halaman depan Kesatrian PETA Rengasdengklok tanggal 16 Agustus, sore harinya datang tokoh-tokoh dari Jakarta yang meminta Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Jakarta dan menyampaikan pernyataan proklamasi pada tanggal 17 Agustus.
’’Yang saya dengar, tokoh dari Jakarta itu di antaranya Pak Soebardjo (Achmad Soebardjo-Red) yang minta dengan sangat agar Bung Karno ke Jakarta. Biar proklamasi tersiar ke dunia, katanya begitu. Lalu setelah buka puasa barulah rombongan berangkat ke Jakarta. Tapi bagi saya, proklamasi dengan upacara militer dan pengibaran bendera dengan penghormatan yang khidmat dan membanggakan telah terjadi tanggal 16 di Rengasdengklok,’’ jelas pria kelahiran Rangkasbitung (Lebak), Banten, tahun 1935 tersebut.
Ternyata apa yang dikatakan Dudum benar adanya. Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 di depan kediaman Bung Karno Jl Pegangsaan Timur No 56 Jakarta sangat sederhana, karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk menggelar pasukan PETA bersenjata lengkap di tempat itu.
Untuk mengenang peristiwa Proklamasi 16 Agustus di Rengasdengklok, Dudum ’’meningkatkan’’ dokumentasinya dari sketsa menjadi sebuah lukisan yang kini tersimpan di galerinya.
Alasan pemilihan tanggal 16 dan 17 Agustus untuk menyatakan proklamasi oleh Bung Karno, akhirnya diketahui Dudum setelah dia berusia 20 tahun. Dia dekat lagi dengan Bung Karno, setelah Dudum menjadi dekorator Gedung Konferensi Asia Afrika di Bandung. Saat dewasa, barulah Dudum mengenal Bung Karno sebagai sosok yang kuat dalam hal metafisik.
’’Jadi ringkasnya, Bung Karno itu seakan sudah dapat wahyu bahwa tanggal yang tepat adalah tanggal 16 di Rengasdengklok dan tanggal 17 di Pegangsaan Timur Nomor 56. Jadi meskipun dipaksa pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Bung Karno tetap tidak mau, karena sudah tahu bahwa itu tanggal yang tepat dan tidak sampai mengorbankan nyawa rakyat banyak,’’ ujar pria berkacamata tersebut.
Dudum berani mengatakan demikian, karena melihat sendiri beberapa hal yang diprediksi Bung Karno, tepat. Dia menjelaskan beberapa di antaranya, namun meminta tidak dipublikasikan karena bisa menimbulkan fitnah.
Dia lantas menceritakan ’’sinyal’’ yang diberikan Bung Karno saat akan meninggalkan Rengasdengklok menuju Jakarta. Wajah sang proklamator terlihat tegar ketika berjalan menuju mobil yang akan membawanya. Namun ketika menengok rakyat di Rengasdengklok yang mengantarkannya, wajahnya menjadi sedih.
’’Terlihat Beliau khawatir nasib kami yang telah tulus membantu. Ternyata beberapa bulan kemudian, atau sekitar dua bulan setelah Lebaran, memang terjadi keonaran di Karawang dan sekitarnya. Para oknum jawara merebut kekuasaan dan meneror rakyat. Terjadi kekerasan, pertumpahan darah sesama bangsa,’’ katanya.
Dudum sangat ingat peristiwa berdarah tersebut. Selain melihat langsung kerusuhan, juga karena rumah ayahnya selalu didatangi tokoh-tokoh dari beberapa suku di Rengasdengklok yang melaporkan kekacauan yang terjadi. Warga dari etnis China, serta orang Jawa dan orang Sunda yang kaya dirampok dan diusir. Jika menolak, pasti dihabisi. Wedana dan kepala desa dicopot, lalu diganti orang-orang dari gerombolan bersenjata rampasan dari Jepang, yang memanfaatkan kondisi status quo untuk kepentingan mereka.
’’Saya masih ingat, pimpinan jawara itu Kang Hamzah. Tatanan jadi kacau, karena pemimpin bukan lagi orang pintar dan terhormat, tetapi mereka yang kejam dan melakukan kekerasan. Karawang dan Rengasdengklok yang sebelumnya makmur menjadi hancur. Makanya saya selalu bersyukur proklamasi terjadi di bulan Puasa, jadinya aman dan suasananya tenteram,’’ turu Dudum.
Sate Kambing
Ada hal menarik yang disaksikan Dudum sewaktu Bung Karno dan keluarganya serta Bung Hatta berada di Rengasdengklok. Dia teringat, pada saat singgah di rumahnya dan kemudian pindah ke rumah Djiau Kie Song, Guntur Soekarnoputera yang masih bayi terus-terusan menangis. Ternyata Guntur lapar karena ASI ibunya, Fatmawati atau Bu Fat, kering.
’’Mungkin stres akibat kondisi yang tidak menentu itu, jadi Bu Fat tidak keluar ASI-nya. Saya kasihan sekali lihat Bu Fat. Guntur tidak berhenti juga menangisnya. Tapi saya masih kecil, jadi bingung, lalu ibu saya menyuruh saya minta susu di markas tentara Jepang di Rengasdengklok,’’ katanya.
Perintah ibu Dudum beralasan, karena tahu bahwa anak lelakinya itu adalah kesayangan staf logistik Jepang bernama Yoshizawa. Dudum mengaku bahwa Yoshizawa (yang akhirnya kembali bertemu dengannya saat Dudum mengunjungi Sapporo, Jepang) senang dan sayang dengan anak-anak, termasuk dirinya. Apalagi Dudum punya kemampuan membuat sketsa dengan pensil.
’’Yoshizawa paham bahasa Jepang sederhana anak-anak, jadi nggak perlu ngomong banyak. Saya bilang minta susu bubuk, ada orang sakit, dia bilang ambil aja. Ya saya ambil banyak sekali, dilihat teman-teman Yoshizawa, ya tenang aja. Lalu saya berikan kepada Ibu, Ibu saya berikan ke Bu Fat,’’ kisahnya.
Semakin dewasa, Dudum mendengar kekejaman tentara Jepang terhadap bangsa Indonesia dan bangsa lainnya. Dia bersyukur karena orang-orang Jepang yang ditemui saat anak-anak berperilaku baik. ’’Jadi tidak bisa kita pukul rata, orang A pasti kejam, orang B pasti baik.’’
Setelah membantu ibunya melayani Bu Fat, selanjutnya Dudum mendapat tugas memesankan sate kambing buat Bung Karno untuk berbuka puasa. Sate kambing itu adalah pelengkap sup kambing plus emping masakan Ibu Dudum.
’’Kalau ada tamu agung, ibu saya pasti memasak sup kambing plus emping goreng. Ibu saya diberitahu orang dari Jakarta, Bung Karno doyan sate kambing. Saya disuruh beli di warungnya Pak Aman, saya bilang ini untuk Ir Soekarno. Tahu begitu, dia (Pak Aman) langsung menggratiskan sate yang saya pesan,’’ katanya.
Begitu saat berbuka tiba, Bung Karno dan beberapa orang, termasuk ayah Dudum, berbuka dengan kolak pisang. Bung Karno lantas menghabiskan sup kambingnya terlebih dahulu, lalu mengambil sedikit nasi, setelah itu baru memakan sate. Dudum ingat betul, Bung Karno menghabiskan sekitar 30 tusuk sate.
’’Saya sebagai anak kecil ya kaget, ada orang nggado sate kambing sampai segitu banyaknya dan makan nasinya sedikit sekali. Bung Karno lihat saya lalu ngomong, kenapa Dum, aneh? Saya cuma cengar-cengir tidak berani menimpali, karena bapak saya sudah melototin saya,’’ tuturnya.
Di mata Dudum kecil, Bung Karno adalah sosok yang komplit. Ia bisa sangat berwibawa dalam bersikap, teguh dalam pendirian, mampu menggelorakan semangat, namun bisa juga cair dalam suasana kekeluargaan yang sangat santai. Sementara Bung Hata adalah sosok intelektual formal yang santun.
’’Beliaulah yang menyebabkan saya tergerak belajar Jawa. Ya, biar bisa ngobrol lebih kekeluargaan, karena beliau sukanya pakai Bahasa Jawa. Saat di Rengasdengklok, banyak tokoh Jakarta dan tokoh Jawa setempat yang sowan beliau, yang muncul Bahasa Jawa. Bung Hatta nggak ngerti, jadi senyum-senyum saja, tapi akhirnya tanya sana-sini, penasaran apa yang dibicarakan tamu-tamu,’’ ucapnya seraya tertawa.
Tahu akan potensi Dudum dalam seni, Bung Karno membantunya agar makin berkembang. Dudum mendapat kesempatan belajar ke Jepang atas bantuan Pramuraharjo (sekretaris pribadi Bung Karno). Di Negeri Sakura tersebut dia menekuni ilmu industri seni kerajinan tangan selama lima tahun.
Pada tahun 60-an, atas bantuan Mas Agung (Chio Wie Thay), Dudum berangkat ke Belanda untuk menggali potensinya dan berkarier selama tujuh tahun. Setelah itu pada awal 80-an dia diminta Raja Arab Saudi untuk membuat lukisan tentang sejarah para Nabi. Setelah berkeliling berbagai negara di dunia, tahun 1985 dia kembali ke Tanah Air dan tetap berkarya hingga kini.
Dudum memilih hidup menyepi di tempat yang memang benar-benar sulit dijangkau, yaitu Desa Mekarwangi. ’’Ini dorongan batin saya, setelah sekian lama melanglang buana. Di sini saya bisa lebih enak berdialog dengan alam, sambil terus melukis. Di sini saya sering berjumpa dengan Bung Karno, dan bagi saya Bung Karno tidak mati,’’ akunya.
Dia tinggal bersama istrinya Entin Hartini dan dua anaknya, Siti Komariah dan Angga Ragiesty. Walaupun sederhana, di dalam rumah Dudum terdapat barang-barang unik pemberian Bung Karno. Salah satunya adalah kursi tamu dengan sandaran kepala berornamen mahkota Kerajaan Belanda.
’’Kursi ini dari Istana Bogor. Bung Karno bilang, Dum, kamu mau kursi ini, ambil saja. Saya ingin ganti dengan yang lambang Garuda, itu lambang kita, kebanggaan kita. Ya saya senang sekali, apalagi kursi jati ini tidak ada sambungannya,’’ kata Dudum sambil menunjukkan detail kursi yang didudukinya, yang ternyata memang tak ada sambungannya alias dari kayu jati utuh. (Hartono Harimurti, Setiady Dwie-59) (suaramerdeka)
Lihat juga : ice cream, sour sally
Tidak ada komentar:
Posting Komentar